Jumat, 27 Mei 2011

Mengingat Gempa 27 Mei 2006

Hari ini tanggal 27 Mei 2006, mengingatkan banyak orang di Jogja kepada peristiwa gempa yang terjadi 5 tahun silam. Ya, 27 Mei 2006 gempa mengguncang Daerah istimewa Yogyakarta, khususnya Bantul, dan Klaten, Jawa Tengah. Tahun ini, mengingat gempa 2006 tersebut sepertinya ada hal yang istimewa, karena belum lama ini kita mengalami peristiwa meletusnya Gunung Merapi akhir tahun 2010. Tahun 2006, gempa bumi di Jogja terjadi saat kita memperhatikan aktifitas gunug merapi yang meningkat.

Pada tahun 2006, sejak bulan April, perhatian publik tertuju kepada Gunung Merapi yang saat itu mengalami peningkatan. Berbagai pihak, termasuk Gerakan Pramuka, melakukan hal-hal yang diperlukan untuk menyikapi kondisi di sekitar Gunung Merapi. Relawan, petugas, dan bantuan lain dipersiapkan. Warga dikondisikan untuk menghadapi kemungkinan meletusnya Gunung Merapi. Ternak warga juga menjadi perhatian pemerintah dan relawan karena merupakan harta yang sangat berarti bagi warga. Sebagian besar warga tidak mudah untuk diajak menghindari daerah rawan karena ada ternak yang harus diurusi.

Ketika semua perhatian tertuju ke Merapi, tiba-tiba di pagi hari tanggal 27 Mei 2006, terjadi gempa bumi. Daerah Bantul menjadi daerah yang paling parah terkena dampak gempa. Warga panik karena ada isu tsunami. Isu yang terjadi karena tidak lama sebelumnya yaitu akhir 2004, terjadi gempa bumi yang disertai tsunami di Aceh. Kepanikan warga terlihat terutama di jalan raya, warga bergegas menuju ke arah utara. Ada yang menuju ke Sleman, ada pula yang menuju ke Magelang. Tetapi kemudian saat menuju ke Sleman, timbul kepanikan lagi saat ada kabar Merapi meletus.

Kamis, 05 Mei 2011

VICKERS JEPANG

Pekan kemarin sempat 'pulang' ke kampung tempat kelahiranku di Garut. Sengaja pulang pakai tanda petik, karena kalau saya mengatakan pulang bisa ke Berbah (kontrakan), Gunungkidul (alamat tempat tinggal sesuai KK, KTP, dll), atau ke kampung tempat kelahiran di Garut. Tidak lama kemarin di Garut, cuma 2 malam. Rabu pagi ke Jakarta, sore sampai malam di Jakarta, tengah malam ke Bekasi, Kamis Subuh berangkat ke Garut. Kamis sore sampai di 'rumah' dan Sabtu siang berangkat ke Jogja. Tapi tulisan ini tidak untuk bercerita tentang Garut atau perjalanan itu.
Saat di rumah di Garut, kulihat-lihat lagi buku-buku yang ada di 'perpustakaan' kecil. Perpustakaan yang sejak aku belum masuk SD sampai SMP memberi wawasan, pengetahuan, dan simulasi kecerdasan di daerah 'pedalaman', jauh dari kota, sulit transportasi, & belum masuk listrik sampai  aku lulus SMP. Ada beberapa buku yang berkesan, salahsatunya adalah TIGA KOTA. Para pemerhati sastra atau sejarah pasti tahu antologi cerpen ini adalah karya Prof. Dr. Nugroho Notosusanto. Tahu siapa beliau ? 
Di sini ditulis ulang salahsatu cerpen yang ada dalam buku itu, karena saya yakin tidak mudah menemukan buku ini di toko-toko buku, dan sulit juga mencarinya di internet. Bukan Mbah Danu yang biasa dipakai dalam pelajaran Bahasa Indonesia, tetapi VICKERS JEPANG.
Monggo, selamat membaca
...
VICKERS JEPANG

    Pada suatu malam yang kuyup dengan hujan aku pulang dari sebuah pertemuan.  Sepedaku merk "Philips" buatan Surabaya, keadaannya sudah payah benar.  Selain jalannya bergoyang-goyang karena rodanya tidak lurus, rantainya berbunyi pula, membikin lagu yang tidak nyaman.  Air hujan merayap masuk via leher baju dan merembes ke dalam via jas hujan "Swan" kwalitet Rp. 90,00 yang tidak waterproof 100%.  Dengan sebal aku menyenandungkan lagu "Tik-tik-tik bunyi hujan di atas genting ..." menirukan adikku dari SR kelas 1.
    Kota Jakart di bilangan Bungur Besar kalau malam jam 10.00 dan hujan begini, menmbulkan bayangan-bayangan yang mengecutkan hati seorang laki-laki normal.  Karena aku masuk laki-laki normal, aku berusaha mengatasi bayangan-bayangan  seram itu dengan khayalan-khayalan yang nikmat-nikmat.  Memang situasi ibu kota pada tahun 1951 belum seaman tahun 1954, dan jam malam juga masih ada pada jam 01.00.
    Di dekat emplasemen stasiun Senen, gelapnya seperti di dalam terowongan kereta api.  Suara orang berlacur tidak ada di dala gerbong-gerbong yang berserakan di atas ril,  Penjual sate Madura dan kueh putu juga semua lenyap.  Jalanan sepi seperti kuburan.
    Tiba-tiba aku kaget seperti di dlam mimpi.  Karena gerak reflex, setang setir goyang, roda-roda kendor tambah oleng dan rem depan tanpa aku rem, mengerem sendiri.  Dengan kutukan jahanam aku terdiri ke dalam comberan yang dingin.  Segala keributan itu hanya karena ada kucing menyeberangi jalan.  Seketika itu juga aku insaf, bahwa hujan agak reda.  Lain daripada itu di kejauhan ada sebuah tiang lampu kelip-kelip melegakan hati yang gelap dingin seperti suasana.  Karena hal-hal yang menyenangkan itu hatiku jadi besarr.  Dengan gemas sepeda kukayuh cepat-cepat, meskipun ratapnya tambah tak karuan.
    Tapi kegelapan seolah-olah enggan melepaskan aku.  Setiap ada simpang jalan menganga, dingin dalam hatiku bertambah sejuk.  Rumah-rumah di tepi jalan tertutup rapat-rapat dan hitam oleh ketiadaan cahaya.  Aku mengayuh terus cepat-cepat, damba akan lampu jalan.
    Aku tahu, masih ada satu jalan simpang lagi sebelum tikungan yang ada lampunya.  jalan itu sudah dekat.  Kira-kira di tempat ada tonggak hitam di tepi jalan.  ya, ada tonggak hitam.  Seesungguhnya terlalu besar untuk sebuah tonggak.  Apa tonggak betul ?  Tonggak betul ? Tonggak bergerak ?!  Orang.  Tangan kanannya ditentangkan ke samping.  Dengan sendirinya aku melambatkan laju sepeda, pedal tak kukayuh lagi.  Aku sudah dekat kepadanya.  Ia bertolak pinggang besar.
    "Stop!" katanya kemudian.  "Turun!" Aku menurut dengan patuh.  Tiba-tiba tangannya menodong ke muka, suatu gerakan yang tak berguna bagiku, karena tanpa senjata itu pun aku tak sanggup melawan dia, karena tokohnya tokoh seorang Samson.  Ia memakai jas hujan militer hijau tetapi pet yang dipakai seperti pet yang kupakai, model sport Inggris.  Sosok tubuhnya yang ditekankan menutup mata, persis bandit picisan.
    Karena aku orang normal, jantungku mempercepat degupnya dan tenggorokanku kering seperti onderdil sepeda yang tak pernah kena minyak.  Bandit picisan itu tak banyak bicara.  Ia mendekat perlahan-lahan, seperti kucing mendekatii tikus.  tangan kirinya maju, membuka kancing jas hujanku.  Tangan kanannya dengan senjata dekat ke perutku.  Ia mulai meraba-raba saku celana.  Aku begerak kegelian, karena rabaannya sembarangan.
    "Awas!" desisnya marah sambil menyodokkan laras senjatanya ke perutku, yang menyebabkan aku mengeluarkan bunyi yang tak dapat kutirukan.  Setelah aku diam kembali, ia meneruskan pekerjaannya yang melanggar undang-undang itu.  Mau tak mau mataku tertrik kepada senjata yang di benamkan ke dalam perutku.  Bukan revolver, tidk ada silindernya; pistol jadi.  Merk apa ?  Aku terus mempelajari pistol itu, tak perduli dompetku berisi Rp. 12,25 pindah ke sakunya.  Karena kami tak jauh benar dari lampu jalan itu, aku dapat melihat, bahwa senjata itu sebuah "Vickers Jepang".  Apa nama sesungguhnya, aku tak tahu, tapi di Indonesia pistol itu terkenal dengan nama itu.
    Setelah selesai menggeledah pakaiannya, ia menumpahkan perhatiannya kepada arloji tanganku.  Karena melihat badanku yang tak seberapa itu, ia tak peduli tanganku kuangkat atau tidak.  Ia menggenggam tangan kiriku untuk mencopot arlojinya; sayang bannya agak sukar membukanya kalau dengan tangan satu.  Karena itu tangan kanannya ikut maju.  Pistolnya sekali waktu membalik, dan terlihat olehku popornya tidak ada wadah pelurunya.  Kosong melompong seperti teng bensin bocor.
   Serta merta mulutku sudah mengoceh lantang dengan cemooh yang tak tersembunyi, "Wah, nodong kok pakai Vickers Jepang kosong!"
    Ia terkejut, sampai arlojiku yang sudah lepas, jatuh ke tanah.  Sebentar ia memandangku dengan tak bergerak dan berkata.  Kemudian ia mundur selangkah.
     "Apa ? Kosong ? Mau rasa, apa ?" aksennya Jawa Tengah.
     "Mau diisi satu-stu dari atas, apa ? Angel dong ngokangnya!" jawabku, juga pakai aksen Jawa Tengah.  Dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri karena sikapnya yang ragu-ragu, aku membungkuk dan memungut arlojiku.  Ia membiarkan saja.
    "Kok tahu ini Vickers Jepang?" tanyanya.  Dan aku seperti sudah pernah kenal suara itu.
    "Saya pernah pakai kok!"
    "Di mana"
    "Front MKS."
    "Hlo! Front MKS!"
    "Tahun 1947."
    "Tahun 1947!"
    "Agustus."
    "Agustus?!"
    "Pernah ke puring apa?" tanyaku.
    "Puring?! Gombong Karanganyar?!" pistolnya sudah turun samasekali.  Dan tiba-tiba aku tahu, siapa dia.
    "Seksi Bima regu 2! Siapa yang pernah menangis di belakang pohon kelapa takut ambil steling di muka waktu ada serbuan?"
    "Mas Nug!!"
    "Ya, saya ini."
    Ia terpaku di aspal tak bergerak-gerak.  Kaget campur malu rupa-rupanya.
    "Hla, kamu kok jadi bandit ini gimana, Dik?" tanyaku.
    "Ini Mas!" dompetku dikembalikannya kepadaku.  Aku masukkan kembali ke tempatnya dan kemudian arloji aku pakai.  Ia diam saja tak menjawab apa-apa.  memandang gelisah kepadaku, memperhatikan aku menutup jas hujan kembali.  Kemudian sepeda aku dekatkan kepadanya.
    "tidak bawa sepeda, Dik?" ia menggelengkan kepala.
    "Goncengkan saya kalau begitu," kataku dengan lagak komandan.
    Kami duduk berhadap-hadapan dalam salahsatu warung di Medan Senen.  Palguno waktu clash I kurus dan masih hijau.  Ia anggota reguku.  Waktu clash II kami berpisah.  Baru sekali ini kami bertemu kembali.  Apa yang baru terjadi sangat mengejutkan, karena Palguno adalah Raden Ngabehi Palguno, putra kedua seorang pensiunan bupati.
   Lama ia kupandang.  Ia menunduk saja.  Kami makan sate kambing, enak panas pada malam yang dingin.  Ia tergesa-gesa mau pulang saja.  Duduknya resah seperti kursinya penuh kutu busuk.
    "Nggak usah malu kepada saya, Dik.  Mari kita bercakap-cakap panjang lebar seperti di Front MKS.  Pantasnya kalau kawan seperjuangan bertemu bualnya keluar!"
     "Tapi ...," ia memandang tak tetap kepadaku.
     "Jangan main tetapi-tetapian, Dik Gun!"
    Ia minum seteguk besar dari gelas birnya.  Lalu memandang lagi dengan liar kepadaku.
    "Saya ...," ia memandang penuh permintaan kepadaku.  "Saya ditunggu istri aya, Mas."
    Aku tegak di kursi.  Gelas yang sedang aku pegang aku letakkan.  Heranku tak kusembunyikan.
    "Istri?!"  Di cermin yang digantung di dinding sana aku lihat wajahku penuh dengan tanda tanya dan mataku melotot seolah-olah melihat Palguno menelan kodok hidup-hidup.
    "Saya sudah kawin, Mas."
    "Hlo-hlo-hlo-hlo!"
    "Sudah hampir dua tahun."
    "Dua tahun?"
    Ia mengangguk tersenyum sedikit malu.
   "Siapa? Dari mana? Bagaimana?" tanyaku seperti tembakan semi otomatik.
   "Namanya..." ia tertegun sebentar, "...Kayatun."
   Ia berhenti sebentar.  Memandang penuh penyelidikan kepadaku.
   "Ia anak carik desa yang merawat saya waktu luka-luka."
   "Hlo, Dik Gun pernah luka toh?"
   "Kesikat watermantel Mas, di selatan Bantul.
   "O."
   "Ia waktu itu pelajar SMP hampir tamat."
   "Jadi seorang war bride to?"
   Ia jadi kemalu-maluan lagi.
   "Perkawinannya di mana ? Besar-besaran ?"
   Ia tak segera menjawab.  Aku menunggu dengan sabar sambil minum beberapa teguk lagi.
   "Ayah-Ibu tidak setuju, Mas."
    "O, karena apa?"
   "Karena ia anak desa."
   "Hlo!"
   "Biarpun pelajar SMP, tapi di mata mereka tetap anak desa.  Merendahkan martabat keluarga."
   "Jadi bagaimana?"
   "Saya paksakan," ia minum beberapa teguk lagi, merenung.  "Hubungan antara mereka dan saya terputus.  Mereka masih bangga akan martabat mereka.  saya juga mengerti, tapi saya tak dapat menginggkari kasih dan terima kasih."
   "Masakan mereka tak dapat memaafkan?"
   Lama ia terdiam.  Aku minum sambil melirik kepadanya.
   "Mereka baru-baru ini berkirim surat, rupa-rupanya mau menerima saya kembali, tetapi saya belum dapat melupakan perkataan-perkataan keras yang pernah terluncur."
   "Allaa, jangan begitu keras kepala, Dik Gun.   Sama Belanda bisa damai kok sama ayah-ibu mau ngotot! Kan tidak sewajarnya."
    "Akan saya pikirkan, Mas. Saya sudah terlanjur menempuh jalan sendiri.  Sesungguhnya sejak umur 16 tahun saya telah menempuh jalan sendiri, akar-akar telah tercabut dari bumi kekeluargaan."
    "Lalu pindah ke Jakarta bagaimana?"
   "Setelah kawin saya pergi sendirian ke Jakarta, meneruskan sekolah. Tapi setelah tamat SMA, berat Mas. Entah karena saya bukan potongan sarjana atau karena asrama yang rame. Pendeknya hidup saya kacau, Mas. Uang KUDP tidak cukup untuk di Jakarta. Mas tahu sendiri."
    Aku mengangguk-angguk sangat setuju lalu minum lagi.
   "Dalam pada itu, sang istri minta dijemput."
   "Sudah semestinya." aku mengangguk-angguk lagi seperti gajah.
   "Ia lulus ngetik lalu bekerja."
   "Emansipasi wanita!" aku menyela.
   "Saya sendiri berusaha belajar terus di Fakultet Hukum, meskipun sudahh dua tahun belum propaedeuse. Di samping itu mencatut kain batik dari Yogya.  Tapi istri saya hamil, lalu tak dapat bekerja terus. Kesukaran keuangan timbul. Lalu ini keluar lagi," ia menepuk-nepuk pistol di dalam sakunya.
   "Saya sudah putus asa, Mas." ia memandang dengan liar kepada jam dinding.
   "Saya mau pulang Mas!"
   "Kok kesusu benar, toh."
   Ia tak menjawab. Berdiri. Melemparkan pandang liar lagi kepada jam, kemudian memandang penuh permintaan kepadaku.
   "Tadi pamitnya ke mana?" tanyaku tenang.
   "Mengambil bidan, Mas. Bidannya sudah saya kirim ke rumah. Saya bermaksud mencari tambah uang untuk membiayai kelahiran bayi," perkataan-perkataannya mengalir keluar.
   Aku berdiri sekarang.
   "Sudah tua hamilnya?"
   "Setiap saat bisa keluar!"
   "Mari!" kataku sambil mengeluarkan dompet.
   Rumahnya terletak di gang yang sempit, becek dan bau. Di muka pintu bambu itu ia berdiri sejurus.  Nyala lampu minyak menyorot keluar. Kami berpandang-pandangan. Dari dalam jelas kedengaran tangis bayi. Sesaat kemudian kami sudah ada di dalam rumah.
   Jam 11.00 malam aku minta diri. Aku cuma sebentar menjenguk istrinya dari pintu karena dipaksa-paksanya. Dengan bangga ia mendukung putra sulungnya keluar kamar tidur ke ruangan satunya, yang merangkap jadi kamar tamu, kamar makan dan dapur.
   "Dik Gun," aku memulai pidatoku, "Saya ucapkan selamat kepada kamu berdua  atas kelahiran putramu yang pertama.  Mudah-mudahan ia tidak akan mengalami kesukaran-kesukaran angkatan kita sekarang ini."
    Palguno, Raden Ngabehi Palguno, putra seorang bangsawan pensiunan bupati, berdiri di tengah-tengah ruangan bbambu itu, besar perkasa dan bahagia. Bayinya kecil, merah dan cengeng terbaring pada urat-urat lengan bapaknya yang kukuh.
   "Sebentar Mas." ia masuk sebentar, kembali tanpa bayi.  Ia berdiri di depanku. Batuk-batuk kecil.
   "Mas, maukah Mas Nug membantu saya seperti waktu di front MKS?"
   Dan aku teringat waktu seorang prajurit muda gemetar mengalami perploncoan tembakan di sampingku. Kini ia mengharapkan lagi bantuan pada saat-saat genting. Dan kesukarannya sekarang lebih besar. Sebagai orang normal aku merasa bangga, bahwa masih ada orang yang menaruh kepercayaan sebegitu besar kepadaku.
   "Baik, Dik, baik!" aku mengangguk-angguk lagi dan mengulurkan tangan kananku.
    Tangan kanannya cepat-cepat dimasukkan ke dalam saku kanan celananya. Tangan kananku sudah mau kuturunkan lagi, ketika ia mengeluarkan tangannya itu dan mengacungkannya kepadaku.  Di dalam tangan itu tergenggam Vickers jepang yang sudah tua, karatan dan tak berwadah peluru.  tetapi sebaliknya dengan tadi, bukan larasnya yang bertujuan kepadaku, melainkan popornya.


14-3-1954
...