Senin, 16 Februari 2009

Pantai di Gunungkidul

Saat Ujian Akhir Semester, aku harus ke Jakarta, menunaikan tugas sebagai Formatur DKN 2008-2013.
Suatu malam, aku diajak temen-temen di Jakarta untuk menonton Perempuan Berkalung Surban.
Ada kesan, satu kesan muncul saat menonton, kesan lain muncul setelah selesai.
Saat menonton, aku mengenali tempat-tempat yang ada dalam film itu, tidak semua, dan ada yang lupa namanya. Opening film sudah menujukkan Paris (Parangtritis). Adegan-adegan berikutnya menunjukkan pantai di Gunungkidul. Aku jadi inget bahwa sudah lama aku tidak ke pantai-pantai di Gunungkidul, padahal bagus/indah. Terakhir adalah awal tahun 2007 (?), saat mencari tempat buat latihan karate INKAI UGM. Jadi pengen banget ke pantai, tapi liburan ini gak sempat, harus ke Jakarta lagi, jadi manajer team kejurnas karate, pulang dari jakarta ngendon di DKD, terus bantu Ujian Karate (ujian turun kyu), Kapan aku ke pantai lagi ya ? Tapi males kalau sendirian walau aku sering mondar-mandir gak jelas pake motor sendirian.
tentang kesan setelah selesai nonton Perempuan Berkalung Surban, menurutku film ini tidak cocok bagi masyarakat umum. Film ini hanya cocok bagi orang-orang yang suah memahami bagaimana Islam yang semestinya. Nah lo, siapa dunk yang nonton film ini ? Kecuali kalau dalam film itu ada adegan yang menjelaskan bahwa sikap kiai itu bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu, film ini secara implisit berlatarbelekang keluarga Muhammadiyah, atau setidaknya ada 2 hal yang membuatku berpikir begitu. tetapi keua hal itu agak "tersembunyi". Ehhh, ternyata, sekarang Film ini jadi bahan perdebatan.

Kamis, 05 Februari 2009

Gunungkidul kering ?

(Yogyakarta, misgianto). Pernah baca novel Candikala yang bercerita tentang 'pulung gantung' ? Ya, cerita dengan tentang pulung gantung (suatu mitos/kepercayaan di Gunungkidul )dengan latar belakang kekeringan dan kemiskinan di Gunungkidul. Dalam novel itu yang paling sering muncul adalah tentang kesulitan mendapatkan air yang dirasakan masyarakat.
Benarkah bahwa Gunungkidul adalah daerah yang sangat kering sehingga kekurangan air ?
Gunungkidul adalah bagian dari bentang alam Pegunungan Sewu yang terbentang dari Pacitan, Jawa Timur sampai Gunungkidul, DIY meliputi Pacitan (Jatim), Wonogiri (Jateng), dan Gunungkidul (DIY). Pegunungan Sewu ini adalah kawasan karst (batuan kapur). Saat masih aktif di Satuan Karya Pramuka Wanabakti Gunungkidul (kebagian jatah mengurusi kegiatan caving alias susur gua), aku sempat membaca dan mendengar istilah speleologi. Dari sana, ada sedikit pemahaman tentang bagaimana kekhasan Gunungkidul terkait perairan daratnya.
Kawasan karst di Gunungkidul dengan batuan kapur di tanahnya membuat air yang ada di permukaan tanah sangat cepat terserap ke dalam batuan kapur yang ada di dalam tanah. Hal ini menyebabkan permukaan tanah tampak kering. Air yang terserap ke dalam tanah/batuan kapur ini pada kedalaman tertentu tidak lagi menyerap turun karena di bawah batuan kapur ada jenis batuan lain yang cenderung kedap air. Air yang ada di dalam tanah/batuan kapur juga membentuk sungai-sungai bawah tanah berupa goa. Goa terbentuk karena aliran air yang mengikis batuan kapur (batuan kapur tidak sama keras di semua tempat).
Pada tahun 2002, aku mengikuti kegiatan Workshop Upacara Adat dan Adat Istiadat Yogyakarta. Pada kegiatan tersebut aku mendapat buku tentang Adat Istiadat di DIY. Salah satu informasi yang kudapat adalah bahwa Gunungkidul bentang alamnya terbagi menjadi 3 bagian. Kawasan/bagian Pegunungan Sewu di bagian timur dan selatan, kawasan/bagian Batur Agung di utara, dan Dataran Tinggi Wonosari di tengah hingga barat. Tahun 2001-2004 selama SMA, karena aktif dalam kegiatan kesiswaan di sekolah maupun di cabang (kepramukaan), aku berkesempatan untuk melihat semua kecamatan yang ada di Gunungkidul (dulu 14 kecamatan yang kemudian berkembang menjadi 18 kecamatan). Memang terlihat ada perbedaan kondisi di kecamatan-kecamatan yang masuk dalam ketiga area tersebut. Di beberapa desa di kecamatan Ponjong seperti di Sumber dan Umbulrejo (pokoknya Ponjong sekitar proliman) tampak irigasi, pesawahan, dan sungai. Kondisi ini sama dengan yang ada di Semin. Daerah tadi berada di tiumr laut Gunungkidul. Di kecamatan-kecamatan yang berada di selatan Gunungkidul yang nampak adalah batuan kapur dengan tanah yang kering. Goa Bribin, yang baru saja dibor secara vertikal untuk memanfaatkan air di sungainya, berada di Semanu. Jika kita ke Pantai Baron, kita dapat mengetahui adanya muara yang langsung muncul di pantai. Kondisi yang diceritakan dalam Novel Candikala di atas berlatarbelakang kehidupan masyarakat yang berada di daerah (sekitar) Paliyan. Telaga-telaga (yang sekarang tinggal sedikit) yang digambarkan dalam novel itu dapat kita jumpai di Paliyan, Saptosari, dan Purwosari. Di antara Desa Bedoyo (Ponjong) dengan Kecamatan Rongkop juga dapat dijumpai telaga, tapi tidak lagi banyak airnya, bahkan kering.
Kembali ke masalah apakah Gunungkidul kekurangan air. Sebenarnya Gunungkidul menyimpan potensi air bersih yang cukup banyak. Tetapi, air di Gunungkidul banyak yang berada di goa/sungai bawah tanah. Permasalahannya adalah pengangkatan air bawah tanah ke permukaan untuk dapat dipergunakan yang memerlukan biaya banyak karena harus menggunakan energi listrik atau diesel. Diperlukan teknologi yang dapat mengangkat air bawah tanah ke permukaan dengan biaya yang murah.
Kondisi ini menjadi salahsatu hal yang mendorong proyek pengeboran Bribin di Kecamatan Semanu. Proyek ini melibatkan pemerintah DIY dan Universitas Karlsruhe, Jerman. Proyek yang memodifikasi pengeboran horizontal menjadi pengeboran vertikal dan pembuatan bendungan di sungai bawah tanah di Goa Bribin. Bendungan ini digunakan untuk menghasilkan tenaga listrik. Nah, tenaga listrik yang dihasilkan bendungan ini digunakan untuk mengangkat air dari sungai bawah tanah di Goa Bribin ke permukaan untuk didistribusikan. Dengan demikian, biaya untuk mengangkat air lebih murah karena dihasilkan dari sungai bawah tanah itu sendiri.
Mudah-mudahan tidak ada informasi yang salah.
Wallahualam.
misgianto

Selasa, 03 Februari 2009

Lagu Indonesia mau akan dibatasi di Malaysia ?

Tadi pagi, sambil sarapan di Gunungkidul yang dingin, aku nonton Apa Kabar Indonesia-nya TV One, salahsatu materinya adalah tentang dominasi lagu/musik musisi Indonesia di Malaysia.
Di Malaysia, saat ini, banyak radio-radio swasta yang memutar lagu-lagu musisi Indonesia, disebutkan bahwa band-band seperti Dewa, Kangen Band, dan ST 12 terkenal di Malaysia. Porsi siaran lagu-lagu Indonesia mencapai 70 % di radio-radio swasta. Kondisi ini mendorong artis-artis/musisi Malaysia untuk mendorong adanya pembatasan lagu-lagu asal Indonesia di radio-radio swasta Malaysia.
Apa Kabar Indonesia tadi pagi menghadirkan Bens Leo dan Dorce Gamalam,a keduanya adalah musisi Indonesia, Bens Leo pernah ke Malaysia dalam rangka penjurian acara musik. Dorce Gamalama menyatakan bahwa secara kualitas musik-musik Malaysia kurang bagus dibandingkan dengan musik/lagu yang dihasilkan musisi Indonesia, katanya sie yang Malaysia punya kurang jelas nuansa musiknya berkarakter bagaimana. Sedangkan Bens Leo mengatakan bahwa salahsatu yang membuat lagu-lagu Indonesia digemari masyarakat Malaysia adalah karena lagu-lagu Indonesia "ngeband" dan masih memiliki nuansa melayu dibandingkan dengan musik Malaysia yang bernuansa melayu tapi kurang "ngeband".
Keadaan di atas bisa membuat kita bangga, bahwa kualitas musisi Indonesia cukup bagus. Pembatasan lagu-lagu asal Indonesia di Malaysia belum dilakukan, tetapi ada kemungkinan ke arah itu. Bagi musisi Malaysia, pembatasan ini akan menguntungkan karena persaingan jauh berkurang. Bagi musisi Indonesia, pembatasan ini kurang menguntungkan. Lalu bagaimana bagi kita yang bukan musisi ? Tentu akan ada perbedaan pendapat tentang hal ini. Setiap pendapat akan dipengaruhi oleh sudut pandang dari arah mana pendapat itu keluar.
Menurutku, pembatasan musik/lagu Indonesia seharusnya tidak dilakukan. Yang harus dilakukan sebetulnya bukan proteksionisme buta seperti itu. Pembatasan tidak boleh melihat dari mana asal lagu, tetapi seharusnya apa konten/isi lagu (dan klipnya, kalau ada klipnya). Tidak perlu melihat dari mana, tetapi yang harus menjadi dasar pembatasan adalah apakah lagu-lagunya berisi konten yang berbahaya atau tidak sesuai, misalnya mengobarkan semangat permusuhan, subversif, pornografi, dan lain-lain. Selama lagu yang ditayangkan/disiarkan masih sesuai dengan norma yang ada, lanjut. Yang harus dilakukan industri musik Malaysia adalah meningkatkan kualitas lagu/musik yang ditawarkan kepada masyarakat mereka. Sebetulnya agak lucu karena ternyata ada kekurangsesuaian antara selera musik masyarakat Malaysia dengan musik yang ditawarkan oleh industri musik Malaysia. Indsutri musik adalah industri kreatif, tentu saja mereka yang kreatif yang bisa memenangkan persaingan. Indonesia sendiri menempatkan musisi negeri tetangga yang berkualitas di tempat yang sangat terhormat, misalnya adalah Siti Nurhaliza, karena memang berkualitas. Pembatasan yang dilakukan di Malaysia (jika dilakukan) justru akan melemahkan kualitas musik Malaysia. Selain karena lemahnya persaingan yang menyebabkan lemahnya motivasi untuk meningkatkan kualitas, juga kurangnya interaksi dengan musik berkualitas dari luar negeri bisa menyebabkan lemahnya kualitas musik Malaysia sendiri. Bila beragam musik dari beragam negeri bersinggungan di dalam masyarakat musik Malaysia (negara lain juga), akan menghasilkan musik yang lebih baik.
Satu hal lagi yang mungkin juga berpengaruh, banyak warga negara Malaysia yang berkuping Jawa dan Melayu Indonesia. Salahsatu episode Secret Operation Metro TV (lupa tahun kapan) menayangkan sejarah bahwa dalam rangka menyeimbangkan komposisi suku/ras/etnis di Malaysia menjelang pemilihan umum yang sangat menentukan, Malaysia pernah mendapatkan bantuan dari Presiden Soeharto berupa pengiriman warga Indonesia menjadi warga Malaysia.