Jumat, 27 Mei 2011

Mengingat Gempa 27 Mei 2006

Hari ini tanggal 27 Mei 2006, mengingatkan banyak orang di Jogja kepada peristiwa gempa yang terjadi 5 tahun silam. Ya, 27 Mei 2006 gempa mengguncang Daerah istimewa Yogyakarta, khususnya Bantul, dan Klaten, Jawa Tengah. Tahun ini, mengingat gempa 2006 tersebut sepertinya ada hal yang istimewa, karena belum lama ini kita mengalami peristiwa meletusnya Gunung Merapi akhir tahun 2010. Tahun 2006, gempa bumi di Jogja terjadi saat kita memperhatikan aktifitas gunug merapi yang meningkat.

Pada tahun 2006, sejak bulan April, perhatian publik tertuju kepada Gunung Merapi yang saat itu mengalami peningkatan. Berbagai pihak, termasuk Gerakan Pramuka, melakukan hal-hal yang diperlukan untuk menyikapi kondisi di sekitar Gunung Merapi. Relawan, petugas, dan bantuan lain dipersiapkan. Warga dikondisikan untuk menghadapi kemungkinan meletusnya Gunung Merapi. Ternak warga juga menjadi perhatian pemerintah dan relawan karena merupakan harta yang sangat berarti bagi warga. Sebagian besar warga tidak mudah untuk diajak menghindari daerah rawan karena ada ternak yang harus diurusi.

Ketika semua perhatian tertuju ke Merapi, tiba-tiba di pagi hari tanggal 27 Mei 2006, terjadi gempa bumi. Daerah Bantul menjadi daerah yang paling parah terkena dampak gempa. Warga panik karena ada isu tsunami. Isu yang terjadi karena tidak lama sebelumnya yaitu akhir 2004, terjadi gempa bumi yang disertai tsunami di Aceh. Kepanikan warga terlihat terutama di jalan raya, warga bergegas menuju ke arah utara. Ada yang menuju ke Sleman, ada pula yang menuju ke Magelang. Tetapi kemudian saat menuju ke Sleman, timbul kepanikan lagi saat ada kabar Merapi meletus.

Kamis, 05 Mei 2011

VICKERS JEPANG

Pekan kemarin sempat 'pulang' ke kampung tempat kelahiranku di Garut. Sengaja pulang pakai tanda petik, karena kalau saya mengatakan pulang bisa ke Berbah (kontrakan), Gunungkidul (alamat tempat tinggal sesuai KK, KTP, dll), atau ke kampung tempat kelahiran di Garut. Tidak lama kemarin di Garut, cuma 2 malam. Rabu pagi ke Jakarta, sore sampai malam di Jakarta, tengah malam ke Bekasi, Kamis Subuh berangkat ke Garut. Kamis sore sampai di 'rumah' dan Sabtu siang berangkat ke Jogja. Tapi tulisan ini tidak untuk bercerita tentang Garut atau perjalanan itu.
Saat di rumah di Garut, kulihat-lihat lagi buku-buku yang ada di 'perpustakaan' kecil. Perpustakaan yang sejak aku belum masuk SD sampai SMP memberi wawasan, pengetahuan, dan simulasi kecerdasan di daerah 'pedalaman', jauh dari kota, sulit transportasi, & belum masuk listrik sampai  aku lulus SMP. Ada beberapa buku yang berkesan, salahsatunya adalah TIGA KOTA. Para pemerhati sastra atau sejarah pasti tahu antologi cerpen ini adalah karya Prof. Dr. Nugroho Notosusanto. Tahu siapa beliau ? 
Di sini ditulis ulang salahsatu cerpen yang ada dalam buku itu, karena saya yakin tidak mudah menemukan buku ini di toko-toko buku, dan sulit juga mencarinya di internet. Bukan Mbah Danu yang biasa dipakai dalam pelajaran Bahasa Indonesia, tetapi VICKERS JEPANG.
Monggo, selamat membaca
...
VICKERS JEPANG

    Pada suatu malam yang kuyup dengan hujan aku pulang dari sebuah pertemuan.  Sepedaku merk "Philips" buatan Surabaya, keadaannya sudah payah benar.  Selain jalannya bergoyang-goyang karena rodanya tidak lurus, rantainya berbunyi pula, membikin lagu yang tidak nyaman.  Air hujan merayap masuk via leher baju dan merembes ke dalam via jas hujan "Swan" kwalitet Rp. 90,00 yang tidak waterproof 100%.  Dengan sebal aku menyenandungkan lagu "Tik-tik-tik bunyi hujan di atas genting ..." menirukan adikku dari SR kelas 1.
    Kota Jakart di bilangan Bungur Besar kalau malam jam 10.00 dan hujan begini, menmbulkan bayangan-bayangan yang mengecutkan hati seorang laki-laki normal.  Karena aku masuk laki-laki normal, aku berusaha mengatasi bayangan-bayangan  seram itu dengan khayalan-khayalan yang nikmat-nikmat.  Memang situasi ibu kota pada tahun 1951 belum seaman tahun 1954, dan jam malam juga masih ada pada jam 01.00.
    Di dekat emplasemen stasiun Senen, gelapnya seperti di dalam terowongan kereta api.  Suara orang berlacur tidak ada di dala gerbong-gerbong yang berserakan di atas ril,  Penjual sate Madura dan kueh putu juga semua lenyap.  Jalanan sepi seperti kuburan.
    Tiba-tiba aku kaget seperti di dlam mimpi.  Karena gerak reflex, setang setir goyang, roda-roda kendor tambah oleng dan rem depan tanpa aku rem, mengerem sendiri.  Dengan kutukan jahanam aku terdiri ke dalam comberan yang dingin.  Segala keributan itu hanya karena ada kucing menyeberangi jalan.  Seketika itu juga aku insaf, bahwa hujan agak reda.  Lain daripada itu di kejauhan ada sebuah tiang lampu kelip-kelip melegakan hati yang gelap dingin seperti suasana.  Karena hal-hal yang menyenangkan itu hatiku jadi besarr.  Dengan gemas sepeda kukayuh cepat-cepat, meskipun ratapnya tambah tak karuan.
    Tapi kegelapan seolah-olah enggan melepaskan aku.  Setiap ada simpang jalan menganga, dingin dalam hatiku bertambah sejuk.  Rumah-rumah di tepi jalan tertutup rapat-rapat dan hitam oleh ketiadaan cahaya.  Aku mengayuh terus cepat-cepat, damba akan lampu jalan.
    Aku tahu, masih ada satu jalan simpang lagi sebelum tikungan yang ada lampunya.  jalan itu sudah dekat.  Kira-kira di tempat ada tonggak hitam di tepi jalan.  ya, ada tonggak hitam.  Seesungguhnya terlalu besar untuk sebuah tonggak.  Apa tonggak betul ?  Tonggak betul ? Tonggak bergerak ?!  Orang.  Tangan kanannya ditentangkan ke samping.  Dengan sendirinya aku melambatkan laju sepeda, pedal tak kukayuh lagi.  Aku sudah dekat kepadanya.  Ia bertolak pinggang besar.
    "Stop!" katanya kemudian.  "Turun!" Aku menurut dengan patuh.  Tiba-tiba tangannya menodong ke muka, suatu gerakan yang tak berguna bagiku, karena tanpa senjata itu pun aku tak sanggup melawan dia, karena tokohnya tokoh seorang Samson.  Ia memakai jas hujan militer hijau tetapi pet yang dipakai seperti pet yang kupakai, model sport Inggris.  Sosok tubuhnya yang ditekankan menutup mata, persis bandit picisan.
    Karena aku orang normal, jantungku mempercepat degupnya dan tenggorokanku kering seperti onderdil sepeda yang tak pernah kena minyak.  Bandit picisan itu tak banyak bicara.  Ia mendekat perlahan-lahan, seperti kucing mendekatii tikus.  tangan kirinya maju, membuka kancing jas hujanku.  Tangan kanannya dengan senjata dekat ke perutku.  Ia mulai meraba-raba saku celana.  Aku begerak kegelian, karena rabaannya sembarangan.
    "Awas!" desisnya marah sambil menyodokkan laras senjatanya ke perutku, yang menyebabkan aku mengeluarkan bunyi yang tak dapat kutirukan.  Setelah aku diam kembali, ia meneruskan pekerjaannya yang melanggar undang-undang itu.  Mau tak mau mataku tertrik kepada senjata yang di benamkan ke dalam perutku.  Bukan revolver, tidk ada silindernya; pistol jadi.  Merk apa ?  Aku terus mempelajari pistol itu, tak perduli dompetku berisi Rp. 12,25 pindah ke sakunya.  Karena kami tak jauh benar dari lampu jalan itu, aku dapat melihat, bahwa senjata itu sebuah "Vickers Jepang".  Apa nama sesungguhnya, aku tak tahu, tapi di Indonesia pistol itu terkenal dengan nama itu.
    Setelah selesai menggeledah pakaiannya, ia menumpahkan perhatiannya kepada arloji tanganku.  Karena melihat badanku yang tak seberapa itu, ia tak peduli tanganku kuangkat atau tidak.  Ia menggenggam tangan kiriku untuk mencopot arlojinya; sayang bannya agak sukar membukanya kalau dengan tangan satu.  Karena itu tangan kanannya ikut maju.  Pistolnya sekali waktu membalik, dan terlihat olehku popornya tidak ada wadah pelurunya.  Kosong melompong seperti teng bensin bocor.
   Serta merta mulutku sudah mengoceh lantang dengan cemooh yang tak tersembunyi, "Wah, nodong kok pakai Vickers Jepang kosong!"
    Ia terkejut, sampai arlojiku yang sudah lepas, jatuh ke tanah.  Sebentar ia memandangku dengan tak bergerak dan berkata.  Kemudian ia mundur selangkah.
     "Apa ? Kosong ? Mau rasa, apa ?" aksennya Jawa Tengah.
     "Mau diisi satu-stu dari atas, apa ? Angel dong ngokangnya!" jawabku, juga pakai aksen Jawa Tengah.  Dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri karena sikapnya yang ragu-ragu, aku membungkuk dan memungut arlojiku.  Ia membiarkan saja.
    "Kok tahu ini Vickers Jepang?" tanyanya.  Dan aku seperti sudah pernah kenal suara itu.
    "Saya pernah pakai kok!"
    "Di mana"
    "Front MKS."
    "Hlo! Front MKS!"
    "Tahun 1947."
    "Tahun 1947!"
    "Agustus."
    "Agustus?!"
    "Pernah ke puring apa?" tanyaku.
    "Puring?! Gombong Karanganyar?!" pistolnya sudah turun samasekali.  Dan tiba-tiba aku tahu, siapa dia.
    "Seksi Bima regu 2! Siapa yang pernah menangis di belakang pohon kelapa takut ambil steling di muka waktu ada serbuan?"
    "Mas Nug!!"
    "Ya, saya ini."
    Ia terpaku di aspal tak bergerak-gerak.  Kaget campur malu rupa-rupanya.
    "Hla, kamu kok jadi bandit ini gimana, Dik?" tanyaku.
    "Ini Mas!" dompetku dikembalikannya kepadaku.  Aku masukkan kembali ke tempatnya dan kemudian arloji aku pakai.  Ia diam saja tak menjawab apa-apa.  memandang gelisah kepadaku, memperhatikan aku menutup jas hujan kembali.  Kemudian sepeda aku dekatkan kepadanya.
    "tidak bawa sepeda, Dik?" ia menggelengkan kepala.
    "Goncengkan saya kalau begitu," kataku dengan lagak komandan.
    Kami duduk berhadap-hadapan dalam salahsatu warung di Medan Senen.  Palguno waktu clash I kurus dan masih hijau.  Ia anggota reguku.  Waktu clash II kami berpisah.  Baru sekali ini kami bertemu kembali.  Apa yang baru terjadi sangat mengejutkan, karena Palguno adalah Raden Ngabehi Palguno, putra kedua seorang pensiunan bupati.
   Lama ia kupandang.  Ia menunduk saja.  Kami makan sate kambing, enak panas pada malam yang dingin.  Ia tergesa-gesa mau pulang saja.  Duduknya resah seperti kursinya penuh kutu busuk.
    "Nggak usah malu kepada saya, Dik.  Mari kita bercakap-cakap panjang lebar seperti di Front MKS.  Pantasnya kalau kawan seperjuangan bertemu bualnya keluar!"
     "Tapi ...," ia memandang tak tetap kepadaku.
     "Jangan main tetapi-tetapian, Dik Gun!"
    Ia minum seteguk besar dari gelas birnya.  Lalu memandang lagi dengan liar kepadaku.
    "Saya ...," ia memandang penuh permintaan kepadaku.  "Saya ditunggu istri aya, Mas."
    Aku tegak di kursi.  Gelas yang sedang aku pegang aku letakkan.  Heranku tak kusembunyikan.
    "Istri?!"  Di cermin yang digantung di dinding sana aku lihat wajahku penuh dengan tanda tanya dan mataku melotot seolah-olah melihat Palguno menelan kodok hidup-hidup.
    "Saya sudah kawin, Mas."
    "Hlo-hlo-hlo-hlo!"
    "Sudah hampir dua tahun."
    "Dua tahun?"
    Ia mengangguk tersenyum sedikit malu.
   "Siapa? Dari mana? Bagaimana?" tanyaku seperti tembakan semi otomatik.
   "Namanya..." ia tertegun sebentar, "...Kayatun."
   Ia berhenti sebentar.  Memandang penuh penyelidikan kepadaku.
   "Ia anak carik desa yang merawat saya waktu luka-luka."
   "Hlo, Dik Gun pernah luka toh?"
   "Kesikat watermantel Mas, di selatan Bantul.
   "O."
   "Ia waktu itu pelajar SMP hampir tamat."
   "Jadi seorang war bride to?"
   Ia jadi kemalu-maluan lagi.
   "Perkawinannya di mana ? Besar-besaran ?"
   Ia tak segera menjawab.  Aku menunggu dengan sabar sambil minum beberapa teguk lagi.
   "Ayah-Ibu tidak setuju, Mas."
    "O, karena apa?"
   "Karena ia anak desa."
   "Hlo!"
   "Biarpun pelajar SMP, tapi di mata mereka tetap anak desa.  Merendahkan martabat keluarga."
   "Jadi bagaimana?"
   "Saya paksakan," ia minum beberapa teguk lagi, merenung.  "Hubungan antara mereka dan saya terputus.  Mereka masih bangga akan martabat mereka.  saya juga mengerti, tapi saya tak dapat menginggkari kasih dan terima kasih."
   "Masakan mereka tak dapat memaafkan?"
   Lama ia terdiam.  Aku minum sambil melirik kepadanya.
   "Mereka baru-baru ini berkirim surat, rupa-rupanya mau menerima saya kembali, tetapi saya belum dapat melupakan perkataan-perkataan keras yang pernah terluncur."
   "Allaa, jangan begitu keras kepala, Dik Gun.   Sama Belanda bisa damai kok sama ayah-ibu mau ngotot! Kan tidak sewajarnya."
    "Akan saya pikirkan, Mas. Saya sudah terlanjur menempuh jalan sendiri.  Sesungguhnya sejak umur 16 tahun saya telah menempuh jalan sendiri, akar-akar telah tercabut dari bumi kekeluargaan."
    "Lalu pindah ke Jakarta bagaimana?"
   "Setelah kawin saya pergi sendirian ke Jakarta, meneruskan sekolah. Tapi setelah tamat SMA, berat Mas. Entah karena saya bukan potongan sarjana atau karena asrama yang rame. Pendeknya hidup saya kacau, Mas. Uang KUDP tidak cukup untuk di Jakarta. Mas tahu sendiri."
    Aku mengangguk-angguk sangat setuju lalu minum lagi.
   "Dalam pada itu, sang istri minta dijemput."
   "Sudah semestinya." aku mengangguk-angguk lagi seperti gajah.
   "Ia lulus ngetik lalu bekerja."
   "Emansipasi wanita!" aku menyela.
   "Saya sendiri berusaha belajar terus di Fakultet Hukum, meskipun sudahh dua tahun belum propaedeuse. Di samping itu mencatut kain batik dari Yogya.  Tapi istri saya hamil, lalu tak dapat bekerja terus. Kesukaran keuangan timbul. Lalu ini keluar lagi," ia menepuk-nepuk pistol di dalam sakunya.
   "Saya sudah putus asa, Mas." ia memandang dengan liar kepada jam dinding.
   "Saya mau pulang Mas!"
   "Kok kesusu benar, toh."
   Ia tak menjawab. Berdiri. Melemparkan pandang liar lagi kepada jam, kemudian memandang penuh permintaan kepadaku.
   "Tadi pamitnya ke mana?" tanyaku tenang.
   "Mengambil bidan, Mas. Bidannya sudah saya kirim ke rumah. Saya bermaksud mencari tambah uang untuk membiayai kelahiran bayi," perkataan-perkataannya mengalir keluar.
   Aku berdiri sekarang.
   "Sudah tua hamilnya?"
   "Setiap saat bisa keluar!"
   "Mari!" kataku sambil mengeluarkan dompet.
   Rumahnya terletak di gang yang sempit, becek dan bau. Di muka pintu bambu itu ia berdiri sejurus.  Nyala lampu minyak menyorot keluar. Kami berpandang-pandangan. Dari dalam jelas kedengaran tangis bayi. Sesaat kemudian kami sudah ada di dalam rumah.
   Jam 11.00 malam aku minta diri. Aku cuma sebentar menjenguk istrinya dari pintu karena dipaksa-paksanya. Dengan bangga ia mendukung putra sulungnya keluar kamar tidur ke ruangan satunya, yang merangkap jadi kamar tamu, kamar makan dan dapur.
   "Dik Gun," aku memulai pidatoku, "Saya ucapkan selamat kepada kamu berdua  atas kelahiran putramu yang pertama.  Mudah-mudahan ia tidak akan mengalami kesukaran-kesukaran angkatan kita sekarang ini."
    Palguno, Raden Ngabehi Palguno, putra seorang bangsawan pensiunan bupati, berdiri di tengah-tengah ruangan bbambu itu, besar perkasa dan bahagia. Bayinya kecil, merah dan cengeng terbaring pada urat-urat lengan bapaknya yang kukuh.
   "Sebentar Mas." ia masuk sebentar, kembali tanpa bayi.  Ia berdiri di depanku. Batuk-batuk kecil.
   "Mas, maukah Mas Nug membantu saya seperti waktu di front MKS?"
   Dan aku teringat waktu seorang prajurit muda gemetar mengalami perploncoan tembakan di sampingku. Kini ia mengharapkan lagi bantuan pada saat-saat genting. Dan kesukarannya sekarang lebih besar. Sebagai orang normal aku merasa bangga, bahwa masih ada orang yang menaruh kepercayaan sebegitu besar kepadaku.
   "Baik, Dik, baik!" aku mengangguk-angguk lagi dan mengulurkan tangan kananku.
    Tangan kanannya cepat-cepat dimasukkan ke dalam saku kanan celananya. Tangan kananku sudah mau kuturunkan lagi, ketika ia mengeluarkan tangannya itu dan mengacungkannya kepadaku.  Di dalam tangan itu tergenggam Vickers jepang yang sudah tua, karatan dan tak berwadah peluru.  tetapi sebaliknya dengan tadi, bukan larasnya yang bertujuan kepadaku, melainkan popornya.


14-3-1954
...

Senin, 16 Februari 2009

Pantai di Gunungkidul

Saat Ujian Akhir Semester, aku harus ke Jakarta, menunaikan tugas sebagai Formatur DKN 2008-2013.
Suatu malam, aku diajak temen-temen di Jakarta untuk menonton Perempuan Berkalung Surban.
Ada kesan, satu kesan muncul saat menonton, kesan lain muncul setelah selesai.
Saat menonton, aku mengenali tempat-tempat yang ada dalam film itu, tidak semua, dan ada yang lupa namanya. Opening film sudah menujukkan Paris (Parangtritis). Adegan-adegan berikutnya menunjukkan pantai di Gunungkidul. Aku jadi inget bahwa sudah lama aku tidak ke pantai-pantai di Gunungkidul, padahal bagus/indah. Terakhir adalah awal tahun 2007 (?), saat mencari tempat buat latihan karate INKAI UGM. Jadi pengen banget ke pantai, tapi liburan ini gak sempat, harus ke Jakarta lagi, jadi manajer team kejurnas karate, pulang dari jakarta ngendon di DKD, terus bantu Ujian Karate (ujian turun kyu), Kapan aku ke pantai lagi ya ? Tapi males kalau sendirian walau aku sering mondar-mandir gak jelas pake motor sendirian.
tentang kesan setelah selesai nonton Perempuan Berkalung Surban, menurutku film ini tidak cocok bagi masyarakat umum. Film ini hanya cocok bagi orang-orang yang suah memahami bagaimana Islam yang semestinya. Nah lo, siapa dunk yang nonton film ini ? Kecuali kalau dalam film itu ada adegan yang menjelaskan bahwa sikap kiai itu bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu, film ini secara implisit berlatarbelekang keluarga Muhammadiyah, atau setidaknya ada 2 hal yang membuatku berpikir begitu. tetapi keua hal itu agak "tersembunyi". Ehhh, ternyata, sekarang Film ini jadi bahan perdebatan.

Kamis, 05 Februari 2009

Gunungkidul kering ?

(Yogyakarta, misgianto). Pernah baca novel Candikala yang bercerita tentang 'pulung gantung' ? Ya, cerita dengan tentang pulung gantung (suatu mitos/kepercayaan di Gunungkidul )dengan latar belakang kekeringan dan kemiskinan di Gunungkidul. Dalam novel itu yang paling sering muncul adalah tentang kesulitan mendapatkan air yang dirasakan masyarakat.
Benarkah bahwa Gunungkidul adalah daerah yang sangat kering sehingga kekurangan air ?
Gunungkidul adalah bagian dari bentang alam Pegunungan Sewu yang terbentang dari Pacitan, Jawa Timur sampai Gunungkidul, DIY meliputi Pacitan (Jatim), Wonogiri (Jateng), dan Gunungkidul (DIY). Pegunungan Sewu ini adalah kawasan karst (batuan kapur). Saat masih aktif di Satuan Karya Pramuka Wanabakti Gunungkidul (kebagian jatah mengurusi kegiatan caving alias susur gua), aku sempat membaca dan mendengar istilah speleologi. Dari sana, ada sedikit pemahaman tentang bagaimana kekhasan Gunungkidul terkait perairan daratnya.
Kawasan karst di Gunungkidul dengan batuan kapur di tanahnya membuat air yang ada di permukaan tanah sangat cepat terserap ke dalam batuan kapur yang ada di dalam tanah. Hal ini menyebabkan permukaan tanah tampak kering. Air yang terserap ke dalam tanah/batuan kapur ini pada kedalaman tertentu tidak lagi menyerap turun karena di bawah batuan kapur ada jenis batuan lain yang cenderung kedap air. Air yang ada di dalam tanah/batuan kapur juga membentuk sungai-sungai bawah tanah berupa goa. Goa terbentuk karena aliran air yang mengikis batuan kapur (batuan kapur tidak sama keras di semua tempat).
Pada tahun 2002, aku mengikuti kegiatan Workshop Upacara Adat dan Adat Istiadat Yogyakarta. Pada kegiatan tersebut aku mendapat buku tentang Adat Istiadat di DIY. Salah satu informasi yang kudapat adalah bahwa Gunungkidul bentang alamnya terbagi menjadi 3 bagian. Kawasan/bagian Pegunungan Sewu di bagian timur dan selatan, kawasan/bagian Batur Agung di utara, dan Dataran Tinggi Wonosari di tengah hingga barat. Tahun 2001-2004 selama SMA, karena aktif dalam kegiatan kesiswaan di sekolah maupun di cabang (kepramukaan), aku berkesempatan untuk melihat semua kecamatan yang ada di Gunungkidul (dulu 14 kecamatan yang kemudian berkembang menjadi 18 kecamatan). Memang terlihat ada perbedaan kondisi di kecamatan-kecamatan yang masuk dalam ketiga area tersebut. Di beberapa desa di kecamatan Ponjong seperti di Sumber dan Umbulrejo (pokoknya Ponjong sekitar proliman) tampak irigasi, pesawahan, dan sungai. Kondisi ini sama dengan yang ada di Semin. Daerah tadi berada di tiumr laut Gunungkidul. Di kecamatan-kecamatan yang berada di selatan Gunungkidul yang nampak adalah batuan kapur dengan tanah yang kering. Goa Bribin, yang baru saja dibor secara vertikal untuk memanfaatkan air di sungainya, berada di Semanu. Jika kita ke Pantai Baron, kita dapat mengetahui adanya muara yang langsung muncul di pantai. Kondisi yang diceritakan dalam Novel Candikala di atas berlatarbelakang kehidupan masyarakat yang berada di daerah (sekitar) Paliyan. Telaga-telaga (yang sekarang tinggal sedikit) yang digambarkan dalam novel itu dapat kita jumpai di Paliyan, Saptosari, dan Purwosari. Di antara Desa Bedoyo (Ponjong) dengan Kecamatan Rongkop juga dapat dijumpai telaga, tapi tidak lagi banyak airnya, bahkan kering.
Kembali ke masalah apakah Gunungkidul kekurangan air. Sebenarnya Gunungkidul menyimpan potensi air bersih yang cukup banyak. Tetapi, air di Gunungkidul banyak yang berada di goa/sungai bawah tanah. Permasalahannya adalah pengangkatan air bawah tanah ke permukaan untuk dapat dipergunakan yang memerlukan biaya banyak karena harus menggunakan energi listrik atau diesel. Diperlukan teknologi yang dapat mengangkat air bawah tanah ke permukaan dengan biaya yang murah.
Kondisi ini menjadi salahsatu hal yang mendorong proyek pengeboran Bribin di Kecamatan Semanu. Proyek ini melibatkan pemerintah DIY dan Universitas Karlsruhe, Jerman. Proyek yang memodifikasi pengeboran horizontal menjadi pengeboran vertikal dan pembuatan bendungan di sungai bawah tanah di Goa Bribin. Bendungan ini digunakan untuk menghasilkan tenaga listrik. Nah, tenaga listrik yang dihasilkan bendungan ini digunakan untuk mengangkat air dari sungai bawah tanah di Goa Bribin ke permukaan untuk didistribusikan. Dengan demikian, biaya untuk mengangkat air lebih murah karena dihasilkan dari sungai bawah tanah itu sendiri.
Mudah-mudahan tidak ada informasi yang salah.
Wallahualam.
misgianto

Selasa, 03 Februari 2009

Lagu Indonesia mau akan dibatasi di Malaysia ?

Tadi pagi, sambil sarapan di Gunungkidul yang dingin, aku nonton Apa Kabar Indonesia-nya TV One, salahsatu materinya adalah tentang dominasi lagu/musik musisi Indonesia di Malaysia.
Di Malaysia, saat ini, banyak radio-radio swasta yang memutar lagu-lagu musisi Indonesia, disebutkan bahwa band-band seperti Dewa, Kangen Band, dan ST 12 terkenal di Malaysia. Porsi siaran lagu-lagu Indonesia mencapai 70 % di radio-radio swasta. Kondisi ini mendorong artis-artis/musisi Malaysia untuk mendorong adanya pembatasan lagu-lagu asal Indonesia di radio-radio swasta Malaysia.
Apa Kabar Indonesia tadi pagi menghadirkan Bens Leo dan Dorce Gamalam,a keduanya adalah musisi Indonesia, Bens Leo pernah ke Malaysia dalam rangka penjurian acara musik. Dorce Gamalama menyatakan bahwa secara kualitas musik-musik Malaysia kurang bagus dibandingkan dengan musik/lagu yang dihasilkan musisi Indonesia, katanya sie yang Malaysia punya kurang jelas nuansa musiknya berkarakter bagaimana. Sedangkan Bens Leo mengatakan bahwa salahsatu yang membuat lagu-lagu Indonesia digemari masyarakat Malaysia adalah karena lagu-lagu Indonesia "ngeband" dan masih memiliki nuansa melayu dibandingkan dengan musik Malaysia yang bernuansa melayu tapi kurang "ngeband".
Keadaan di atas bisa membuat kita bangga, bahwa kualitas musisi Indonesia cukup bagus. Pembatasan lagu-lagu asal Indonesia di Malaysia belum dilakukan, tetapi ada kemungkinan ke arah itu. Bagi musisi Malaysia, pembatasan ini akan menguntungkan karena persaingan jauh berkurang. Bagi musisi Indonesia, pembatasan ini kurang menguntungkan. Lalu bagaimana bagi kita yang bukan musisi ? Tentu akan ada perbedaan pendapat tentang hal ini. Setiap pendapat akan dipengaruhi oleh sudut pandang dari arah mana pendapat itu keluar.
Menurutku, pembatasan musik/lagu Indonesia seharusnya tidak dilakukan. Yang harus dilakukan sebetulnya bukan proteksionisme buta seperti itu. Pembatasan tidak boleh melihat dari mana asal lagu, tetapi seharusnya apa konten/isi lagu (dan klipnya, kalau ada klipnya). Tidak perlu melihat dari mana, tetapi yang harus menjadi dasar pembatasan adalah apakah lagu-lagunya berisi konten yang berbahaya atau tidak sesuai, misalnya mengobarkan semangat permusuhan, subversif, pornografi, dan lain-lain. Selama lagu yang ditayangkan/disiarkan masih sesuai dengan norma yang ada, lanjut. Yang harus dilakukan industri musik Malaysia adalah meningkatkan kualitas lagu/musik yang ditawarkan kepada masyarakat mereka. Sebetulnya agak lucu karena ternyata ada kekurangsesuaian antara selera musik masyarakat Malaysia dengan musik yang ditawarkan oleh industri musik Malaysia. Indsutri musik adalah industri kreatif, tentu saja mereka yang kreatif yang bisa memenangkan persaingan. Indonesia sendiri menempatkan musisi negeri tetangga yang berkualitas di tempat yang sangat terhormat, misalnya adalah Siti Nurhaliza, karena memang berkualitas. Pembatasan yang dilakukan di Malaysia (jika dilakukan) justru akan melemahkan kualitas musik Malaysia. Selain karena lemahnya persaingan yang menyebabkan lemahnya motivasi untuk meningkatkan kualitas, juga kurangnya interaksi dengan musik berkualitas dari luar negeri bisa menyebabkan lemahnya kualitas musik Malaysia sendiri. Bila beragam musik dari beragam negeri bersinggungan di dalam masyarakat musik Malaysia (negara lain juga), akan menghasilkan musik yang lebih baik.
Satu hal lagi yang mungkin juga berpengaruh, banyak warga negara Malaysia yang berkuping Jawa dan Melayu Indonesia. Salahsatu episode Secret Operation Metro TV (lupa tahun kapan) menayangkan sejarah bahwa dalam rangka menyeimbangkan komposisi suku/ras/etnis di Malaysia menjelang pemilihan umum yang sangat menentukan, Malaysia pernah mendapatkan bantuan dari Presiden Soeharto berupa pengiriman warga Indonesia menjadi warga Malaysia.

Jumat, 30 Januari 2009

Buku Psikologi Pertumbuhan Diane Schultz












Judul : Psikologi Pertumbuhan, Model-model Kepribadian Sehat
Penulis : Duane Schultz
Judul Asli : Growth Psychology, Models of healthy personality (1977)
Penerjemah : drs. Yustinus MSc. OFM.
Penerbit : Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Tahun Terbit : 1991 (terjemahan)
Tebal : 208 halaman
Ulasanku :
Pernahkah kita mendengar istilah kesehatan mental atau sehat mental ? Apakah kita orang yang sehat mental ? Seperti apa orang yang sehat secara mental ? Ya, mungkin banyak hal yang bisa kita tanyakan terkait dengan kesehatan mental.
Sebagai orang yang tidak mengalami kelainan atau gangguan jiwa bisa jadi kita menyatakan bahwa kita adalah orang yang berkepribadian sehat. Tetapi betulkah demikian ? Kesehatan mental atau kepribadian yang sehat tidak hanya berkaitan ada atau tidak adanya abnormalitas dalam diri kita.
Pernahkah kita berpikir atau merenung bagaimana kita harus menjalani kehidupan setelah melewati usia atau tahap tertentu, misalnya usia 40an ? Atau berpikir tentang dedikasi kita dalam pekerjaan ? Kesehatan mental ternyata berkaitan pula dengan hal-hal semacam itu. Kesehatan mental berkaitan dengan kualitas kepribadian kita, bukan hanya berkaitan dengan ada tidaknya abnormalitas.
Ada banyak sudut pandang dalam mendefinisikan kepribadian yang sehat. Banyak ahli yang memberi penjelasan mengenai hal itu. Bahkan setiap orang bisa mendefinisikan kesehatan mental sesuai dengan pemahamannya. Salah satu buku yang menyajikan penjelasan mengenai kepribadian sehat adalah Psikologi Pertumbuhan : Model-model Kepribadian yang Sehat. Buku ini merupakan terjemahan dari “Growth Psychology : Models of healthy personality” karya Duane Schultz.
Dalam buku ini disampaikan model-model kepribadian yang sehat dari 7 tokoh. Ketujuh tokoh tersebut ialah Gordon Allport, Carl Rogers, Erich Fromm, Abraham Maslow, Carl Jung, Viktor Frankl, dan Fritz Perls. Dari buku ini kita bisa mendapatkan pemahaman mengenai bagaimana kita menjalani kehidupan menurut model-model kepribadian yang sehat. Kita juga bisa mendapatkan penjelasan mengani teori motivasi Maslow terutama mengenai ’Aktualisasi Diri’. Model-model kepribadian sehat yang dikemukakan oleh ketujuh tokoh tersebut dipilih oleh pengarang karena teori-teori mereka itu tergolong di antara pendirian-pendirian yang diakui dan dikembangkan secara lebih lengkap dan pengaruh serta kepentingan mereka adalah kontemporer (halaman 16).
Walaupun merupakan buku acuan bagi kalangan mahasiwa fakultas psikologi, bahasa dalam buku ini cukup sederhana. Buku ini terdiri dari 9 bagian. Bagian 1 merupakan berusaha mengantarkan kita memasuki dunia kesehatan mental. Bagian ini mendorong kita untuk bertanya bagaimana kepribadian yang sehat. Bagian 2 sampai bagian 8 berisi 7 model kepribadian yang sehat menurut tokoh-tokoh tersebut di atas. Setiap bagian menyajikan satu model.
Model pertama yang disajikan adalah model orang sehat mental menurut Allport, menurut Allport, orang yang sehat mental adalah ‘Orang yang Matang”, terdapat 7 kriteria Orang yang Matang menurutnya. Orang sehat mental menurut Rogers adalah “Orang yang Berfungsi sepenuhnya”, terdapat 5 sifat orang yang berfungsi sepenuhnya. Di bagian selanjutnya, Fromm mengatakan bahwa orang yang sehat mental adalah “Orang yang Produktif”. Menurut model kesehatan mental Fromm, kepribadian yang sehat didorong oleh kebutuhan, orang yang sehat mental memuaskan kebutuhan-kebutuhan psikologis ini secara produktif dan kreatif.
Sedangkan orang sehat mental menurut Maslow adalah ‘Orang yang Mengaktualisasikan Diri”. Menurut Maslow, motif yang paling tinggi adalah tidak didorong dan tidak berjuang. Orang yang mengaktualisasikan diri tidak berjuang tetapi berkembang. Dorongan peng-aktualisasi-diri adalah metamotivation sedangkan dorongan lainnya adalah D-motivation yaitu dorongan karena kekurangan (deficiency) (halaman 94). Ada 15 sifat khusus pengaktualisasi-diri menurut Maslow yang dikemukakan dalam buku ini (halaman 99 – 111). Sedangkan Jung menyampaikan bahwa orang yang sehat mental adalah “Orang yang terindividuasi”, yaitu orang yang mencapai pengetahuan diri yang tinggi sehingga muncul penerimaan diri dan memiliki sifat intergrasi diri serta ungkapan diri. Kemudian pribadi sehat menurut Frankl yaitu “Orang yang Mengatasi-diri”, dan menurut model Perls yaitu “Orang Di Sini dan Kini”.
Setiap bagian pada Bagian 2 sampai Bagian 8 memiliki alur yang sama. Pada awal bagian disampaikan latar belakang tokoh tersebut terutama terkait dengan pandangannya mengenai kepribadian. Yang menarik di sini ialah kita bisa berpikir tentang hubungan antara teorinya tentang kepribadian atau kepribadian yang sehat dengan pengalaman pribadi mereka. Kemudian, disampaikan pendekatan tokoh tersebut terhadap kepribadian. Selanjutnya adalah model kepribadian sehat menurut tokoh tersebut. Setiap bagian diakhiri dengan ulasan pribadi. Ulasan pribadi ini merupakan pandangan penulis (Schultz) terhadap model kepribadian tersebut. Di sini kita dibantu untuk menyimpulkan model kepribadian tersebut.
Bagian 9 berjudul Kodrat Kesehatan Psikologis yang mengingatkan kita mengenai definisi kepribadian yang sehat. Bagian ini juga berisi ringkasan perbandingan ketujuh model yang disajikan dalam sebuah tabel (halaman 200).

Kamis, 25 Desember 2008

Lagu Jang, Nasihat seorang Ibu

Aku lagi nyari lagu-lagu berbahasa Sunda di internet dari 4shared. Dapat, ada lagunya Darso (jenis Calung dan Pop), ada kacapi suling juga.
Ada satu lagu yang menyentuh hatiku, sampai keluarlah air mata ini. Judulnya Jang, Jang adalah singkatan dari Ujang, panggilan kepada anak laki-laki.
Sambil denger lagunya, aku tulis syairnya. Here below, sekalian aku tulis artinya.

Jang, hirup teh teu gampang (Nak, hidup itu tidak mudah)
teu cukup ku dipikiran (tidak cukup dipikir)
bari kudu dilakonan (sambil harus dijalani)

jang, jalan kahirupan (Nak, jalan kehidupan)
henteu sapanjangna datar (tidak selamanya datar)
aya mudun jeung tanjakan (ada turun dan tanjakan)

kudu sabar dina kurang (harus sabar dalam kurang)
ulah nepak dada beunghar (jangan sombong kaya)
salawasna kudu syukur (selamanya harus bersyukur)
eling ka Nu Maha Agung (ingat kepada Yang Maha Agung)
kade hidep bisi kufur (hati-hati jangan sampai kufur)

*****
jang, sing jadi jalma hade (Nak, jadilah manusia baik)
sing jadi jelema gede (jadilah manusia 'besar')
beunghar harta beunghar hate (kaya harta kaya hati)

jang, hidep sing ngajalma (Nak, kamu jadilah manusia)
nurut parentah agama (menurut perintah agama)
ulah jauh ti ulama (jangan jauh dari ulama)
nyobat sareng ahli tobat (bersahabat dengan ahli taubat)
dalit sareng para kiyai (dekat dengan para kiai)
hirup keuna ku owah gingsir (hidup selalu berubah)
ngarah aya anu ngageuing (supaya ada yang mengingatkan)
mangsa lengkah ninggang salah (saat langkah salah)

sing pinter tur bener (harus pintar dan benar)
sing jujur tong bohong (jujurlah jangan bohong)
ulah nganyerikeun batur (jangan menyakiti orang lain)
ngarah hirup loba dulur (supaya hidup banyak saudara)

raksa ucap lampah (jaga ucapan dan tingkah laku)
tekad jeung tabeat (tekad dan tabi'at)
ngarah pinanggih bagja (supaya menemukan bahagia)
salamet dunya aherat (selamat dunia akhirat)

jang,
jang, sing jadi jalma soleh (Nak, jadilah manusia soleh)

jang,
jang, hidep sing soleh (Nak, solehlah kamu)